Untitle #2


.


Harapan adalah kosong

Jemari yang menyusuri permukaan dengan keterhati-hatian yang dibuat, mataku memandangmu. Terasa familiar namun pemandangan yang terpantul dimataku adalah keterasingan, saat ini aku kehilanggan semua kata yang kususun sebelum bertemu denganmu, ia-semua kata itu- menguap lewat pertemuan kita dikota pikiran. Aku disambut senyap dalam tiap langkah yang menghampirimu.
Sedikit lagi… bukankah ini begitu dekat? Aku ingin menghampirimu meski tenggorokanku tersumpal kelu. Ah kita bertemu lagi, untuk keberapa kalinya? Kita telah kehilangan hitungan. Aku selalu diam-diam memperhatikanmu lewat jendela yang menuju otakku-tempat kediamanmu-. Wajahmu tersenyum dengan sebuah racun keramahan, tetap sama bahkan ketika matamu menangkap pisau berkilat di genggaman tanganku. Ah lihat, mengapa kau masih tersenyum? Sedang wajahku telah menunjukkan kebengisan layaknya pembunuh.

Langkahku semakin gencar dan jarak kita hanya tinggal sejengkal. Dari sini aku bisa mencium aroma masa depan yang menguar darimu, dari sinipun aku yakin bahwa dengan mudah aku dapat langsung menikamkan pisau ini kejantungmu. Karena kau masih lumpu dan sayapmu belum tumbuh, masih sama seperti yang lalu, hanya sepasang mata dan jiwa berkobar yang meletupkan keindahanlah yang amat hidup darimu serta aku tahu itulah benih kebencian yang muncul dalam hati sempitku.
Aku terserat dalam pemahaman sinting ini, karena aku tahu kau tak akan bisa tumbuh sayap maka aku ingin menusuk-nusukmu, seperti ini, sudah selayaknya pisauku menusuk-nusukmu, tusukkan pertama kau menutup matamu, tusukan kedua menghentikkan nafasmu, tusukan ketiga dan kaupun bertebaran menjadi kepinggan yang terlahir kembali penuh derita.. tunggu tidakkah aku menyaksikan kau lahir kembali? Masih saja sama walau aku sudah membunuhmu? Kau tak bisa mati! Kesadaran memenuhi pembunuhan yang cacat ini untuk kesekian kali.
Saat ini aku kembali melambung lemah dalam imajinasi, meski sudah aku larang diriku menuntun harapan kedalam hati tak sepantasnya ia tumbuh! Ia hanya akan meningkatkan korban yang akan kubunuh nantinya. Aku menunjukkan wajah terbengis, jadilah mereka berkumpul menjadi satu bersama kau yang menjadi pemimpinnya, saling bergandengan tangan berhamburan menuju api.
Aku tak mengenal kelemahanmu, ratusan kali aku membayangkan cara membunuhmu tapi karena kau tak kenal kematian kau terus hidup dengan derita yang juga menjadi deritaku.
Kau yang terlahir dan tertinggal, tak terhitung aku menginginkanmu mati! Bisakah kau tinggalkan kedekatan ini, aku membunuhmu untuk hidupku. Aku tak mungkin terus berayun dengan dasar semu milikmu, aku ingin dasar yang kokoh dan nyata yang memberi alasan untuk aku hidup. Sebuah mimpi yang tak mustahil tak sepertimu yang merupakan mimpi bodoh dan selalu bertebaran dalam kepalaku.

Your Reply