Harapan adalah kosong
Jemari
yang menyusuri permukaan dengan keterhati-hatian yang dibuat, mataku
memandangmu. Terasa familiar namun pemandangan yang terpantul
dimataku adalah keterasingan, saat ini aku kehilanggan semua kata
yang kususun sebelum bertemu denganmu, ia-semua kata itu- menguap
lewat pertemuan kita dikota pikiran. Aku disambut senyap dalam tiap
langkah yang menghampirimu.
Sedikit
lagi… bukankah ini begitu dekat? Aku ingin menghampirimu meski
tenggorokanku tersumpal kelu. Ah kita bertemu lagi, untuk keberapa
kalinya? Kita telah kehilangan hitungan. Aku selalu diam-diam
memperhatikanmu lewat jendela yang menuju otakku-tempat kediamanmu-.
Wajahmu tersenyum dengan sebuah racun keramahan, tetap sama bahkan
ketika matamu menangkap pisau berkilat di genggaman tanganku. Ah
lihat, mengapa kau masih tersenyum? Sedang wajahku telah menunjukkan
kebengisan layaknya pembunuh.
Langkahku
semakin gencar dan jarak kita hanya tinggal sejengkal. Dari sini aku
bisa mencium aroma masa depan yang menguar darimu, dari sinipun aku
yakin bahwa dengan mudah aku dapat langsung menikamkan pisau ini
kejantungmu. Karena kau masih lumpu dan sayapmu belum tumbuh, masih
sama seperti yang lalu, hanya sepasang mata dan jiwa berkobar yang
meletupkan keindahanlah yang amat hidup darimu serta aku tahu itulah
benih kebencian yang muncul dalam hati sempitku.
Aku
terserat dalam pemahaman sinting ini, karena aku tahu kau tak akan
bisa tumbuh sayap maka aku ingin menusuk-nusukmu, seperti ini, sudah
selayaknya pisauku menusuk-nusukmu, tusukkan pertama kau menutup
matamu, tusukan kedua menghentikkan nafasmu, tusukan ketiga dan
kaupun bertebaran menjadi kepinggan yang terlahir kembali penuh
derita.. tunggu tidakkah aku menyaksikan kau lahir kembali? Masih
saja sama walau aku sudah membunuhmu? Kau tak bisa mati! Kesadaran
memenuhi pembunuhan yang cacat ini untuk kesekian kali.
Saat
ini aku kembali melambung lemah dalam imajinasi, meski sudah aku
larang diriku menuntun harapan kedalam hati tak sepantasnya ia
tumbuh! Ia hanya akan meningkatkan korban yang akan kubunuh nantinya.
Aku menunjukkan wajah terbengis, jadilah mereka berkumpul menjadi
satu bersama kau yang menjadi pemimpinnya, saling bergandengan tangan
berhamburan menuju api.
Aku
tak mengenal kelemahanmu, ratusan kali aku membayangkan cara
membunuhmu tapi karena kau tak kenal kematian kau terus hidup dengan
derita yang juga menjadi deritaku.
Kau
yang terlahir dan tertinggal, tak terhitung aku menginginkanmu mati!
Bisakah kau tinggalkan kedekatan ini, aku membunuhmu untuk hidupku.
Aku tak mungkin terus berayun dengan dasar semu milikmu, aku ingin
dasar yang kokoh dan nyata yang memberi alasan untuk aku hidup.
Sebuah mimpi yang tak mustahil tak sepertimu yang merupakan mimpi
bodoh dan selalu bertebaran dalam kepalaku.
